Dicopy dari : rinaihujan07.blogspot.co.id
Suatu hari di medium Desember 2010 seorang teman asal Bandung, Hary Haidar Latif, mengirimi saya pesan singkat kalau ia tengah mendengarkan siaran radio berisi interview dengan Sarasvati. Itulah kali pertama saya mendengar nama Sarasvati, band barunya Teh Risa mantan vokalis Homogenic (Homogenic adalah band indie asal kota Bandung yang mengusung musik bergenre elektronik pop. Saya pernah mendengar nama Homogenic beberapa tahun lalu, tapi karna saat itu belum mengakrabi musik indie maka saya juga belum pernah mendengarkan lagu-lagu mereka. Kini setelah tahu Sarasvati berikut Teh Risa, saya turut menggandrungi Homogenic. Jadi jika orang lain mengenal Homogenic dulu baru Sarasvati, saya justru sebaliknya, mengenal Homogenic dari Sarasvati).
Karna begitu menggebu-gebunya A Hary bercerita tentang Sarasvati saya pun jadi penasaran, sekeren apa sih Sarasvati itu. Namun karna kesibukan yang cukup padat saya baru mendownload sejumlah lagunya beberapa hari kemudian. Oh I Never Know, Perjalanan dan Bilur adalah lagu yang saya donlot waktu itu. Ketika mendengar Oh I Never Know, saya langsung jatuh cinta setengah mati dengan lagu ini (walo belum paham apa arti liriknya, hihihi). Dan saya pun setuju dengan A Hary, "yeah, Sarasvati memang keren!"
Lalu saya beranjak pada lagu Bilur…. Jujur, saat pertama mendengarnya, saya tidak mengerti makna dari lagu Bilur, tapi saat itu saya sudah langsung mengagumi keapikan kolaborasi aransemen musik Sunda dan kontemporer di lagu ini. Terlebih saat mendengar bagian sinden yang menyanyikan lirik berbahasa Sunda. Wow, ini sungguh kolaborasi yang luar biasa!
Saya memiliki kekaguman tersendiri pada musisi yang peduli dengan budaya tradisional dan mewujudkan kepeduliannya itu dengan membuat karya kolaborasi tradisional-kontemporer. Seperti misalnya Tigapagi yang menggabungkan musik pop kontemporer dengan nada-nada pentatonis Sunda dan menghasilkan karya yang apik. Atmosfer kekaguman seperti itu pula yang saya rasakan saat mendengar Bilur. Tapi saat itu baru sekedar mengagumi keapikan kolaborasinya, belum sampai pada tahap “menggilai”. Tidak seperti Oh I Never Know yang sudah mencuri hati saya dari kali pertama saya putar.
Selang beberapa hari kemudian saya tergelitik untuk mencari lirik lagu Bilur, karna saat itu saya tidak kunjung mengerti makna dari lagu ini meski telah didengar beberapa kali. Saya juga penasaran dengan maksud dari lirik berbahasa Sunda "teungteuingeun, tungtung lengkah geuning bet peurih.."... Lirik ini yang paling membuat saya penasaran, apa sebenarnya makna dari lagu ini dan mengapa ada lirik tentang kepedihan yang terasa begitu dalam..
Maka saya mulai membuka grup Sarasvati di fb. Diantara catatan-catatan Sarasvati, saya pun menemukan Bilur. Dengan tekun saya mulai membaca. Di akhir catatan saya tercenung sekaligus merinding. Terjawab sudah rasa penasaran saya mengapa lirik lagu berbahasa Sunda dalam lagu itu menyiratkan nuansa perih. Lagu ini ternyata berkisah tentang penyesalan dan pilu yang dirasakan Mae, seorang penyanyi lagu tradisional yang cantik dan tenar di masa mudanya dulu. Dia senang menggunakan selendang dan biduri (batu permata) pada saat menyanyi diatas panggung. Namun semua berubah tatkala Mae memilih menikah dengan pria yang tidak disetujui ibunya. Saat itu sang ibu sangat menentang keputusan Mae, tapi apa yang menjadi firasat ibunya tidak ia hiraukan. Demi cinta, Mae menentang sang ibu dan memutuskan tetap menikah.
“ceracau getir ibunda, gemertak sengap hatinya..firasat tak pernah salah, hanya ku berbuat ulah.."
Akan tetapi entah apa yang terjadi, saat Mae tengah mengandung, ia meninggal beserta janin dalam perutnya. Mae pergi...membawa penyesalan karna tak menuruti firasat ibunya untuk tidak menikah dengan lelaki yang ternyata telah lebih dulu beristri. Mae pergi membawa kedukaan dan pilu atas akhir kisah hidupnya yang ternyata menderita, tak seperti masa mudanya yang bergelimang pesona ketenaran.
“ceracau getir ibunda, gemertak sengap hatinya..firasat tak pernah salah, hanya ku berbuat ulah.."
Akan tetapi entah apa yang terjadi, saat Mae tengah mengandung, ia meninggal beserta janin dalam perutnya. Mae pergi...membawa penyesalan karna tak menuruti firasat ibunya untuk tidak menikah dengan lelaki yang ternyata telah lebih dulu beristri. Mae pergi membawa kedukaan dan pilu atas akhir kisah hidupnya yang ternyata menderita, tak seperti masa mudanya yang bergelimang pesona ketenaran.
Semerbak dupa iringi ku melangkah
Cungkupku hanya tanah
Bilur hati merambah
Kepergian Mae memang sangat tiba-tiba, tidak ada yang menyangka apalagi saat itu dia tengah mengandung 8 bulan. Kejadian demi kejadian terungkap setelah dia dan janin yang ada di perutnya dikubur bersama. Sampai suatu ketika, rohnya merasuki raga seseorang dan memberikan sebuah lirik yang berisi kisah hidupnya kepada seorang teman semasa hidup yang notabene adalah seorang pencipta lagu. Liriknya berbahasa Sunda, inti dari lagunya sendiri berisi tentang rasa sakit yang tak pernah hilang walau dibawa ke liang lahat dan permohonan maafnya kepada ibu saudara dan teman-teman yang pernah mengenalnya semasa hidup.
Saya tidak tau dengan apa membahasakan sensasi yang saya rasakan saat itu. Tiba-tiba saya seperti bisa merasakan gunungan penyesalan Mae.. Saya bisa merasakan perih hati Mae..saya bisa merasakannya, entah mengapa. Seakan bilur hati Mae merambah ke hati saya. Usai membaca catatannya, saya putar kembali Bilur. Kali ini saya disergap sensasi merinding yang ganjil.. Saya merinding karna teringat betapa tragis hidup Mae, betapa miris akhir jalan hidupnya. Saya merinding, karna lagu ini tiba-tiba menjadi terdengar begitu menyayat , setelah sebelumnya saya tak begitu menghiraukannya. Kini setelah tau kisah di balik Bilur, lagu ini terasa lebih "bernyawa". Saya pun menjadi sangat menggilainya.
Bagian paling saya nantikan tiap kali mendengar Bilur adalah lirik bahasa Sunda nya. Seluruh pilu seakan bermuara di sana. Dan siapa nyana, lirik berbahasa Sunda dalam lagu Bilur ini konon “diberikan langsung” oleh almarhum Mae. Saat ambu Ida (sinden) diminta untuk menuliskan bagian lirik berbahasa Sunda, beliau mengalami kesulitan. Tapi kemudian Mae “datang" dan memberikan lirik tersebut.. Meski sulit dicerna akal sehat, namun hal ini terasa begitu mengiris…
Sampai saat ini saya masih sering memutar Bilur dan terkadang sensasi merinding itu turut pula menyertai. Berkali-kali bayangan kisah hidup Mae menari di benak saya. Meninggalkan kesan pedih yang dalam hingga saat ini, setiap kali saya memutar Bilur...
Selendang bersulam sutera
Biduri lembayung jingga
Saksi mati tuk bersaksi
Gelimang pesona diri
Belia usia dulu
Ruap cinta tlah menggebu
Samar ku lihat dunia
Tak sadar semua fana...
Semerbak dupa iringi ku melangkah
Cungkupku hanya tanah
Bilur hati merambah
Dan akan datangkah bagiku kesempatan
Bila tak ada titian diri yang rupawan
duh...duh...teungteuingeun….tungtung lengkah geuning bet peurih
duh...
Sekilas lihatlah mega
Anugrah tiada tara
Ini tak adil untukku
Halimun hitam merasuk
Ceracau getir ibunda
Gemertak sengap hatinya
Firasat tak pernah salah
Hanya ku berbuat ulah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar